إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dalam ayat tersebut terdapat tiga metode dakwah yang harus kita laksanakan sebagai seorang da’i
1. Berdakwah dengan Hikmah.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Jarir menyebutkan bahwa maksud dari kata hikmah adalah wahyu yang telah diturunkan oleh Allah berupa Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Selain pengartian kata hikmah denga kedua wahyu tersebut, M. Abduh berpendapat bahwa hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah dalam tiap – tiap hal. Hikmah juga diartikan dengan ucapan yang sedikit lafadz akan tetapi memiliki banyak makna atau dapat diartikan meletakkan sesuatu sesuai tempat yang semestinya. Orang yang memiliki hikmah disebut al-hakim yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu. Selain itu Al-Zamaksyari mengartikan kata al-hikmah dalam al-Kasyaf dengan sesuatu yang pasti benar. Al-Hikmah adalah dalil yang menghilangkan keraguan ataupun kesamaran. Selanjutnya beliau menyebutkan bahwa al-hikmah juga diartikan sebagai al-Qur’an yakni ajaklah manusia mengikuti kitab yang memuat al-hikmah.
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa al-hikmah adalah kemampuan da’idalam memilih dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi obyektif mad’u. selain itu al-hikmah juga merupakan kemampuan da’i dalam menjelaskan doktrin- doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi yang logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, al-hikmahadalah sebuah system yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam dakwah.
2. Berdakwah dengan al-Mau’idzah al-hasana ( pelajaran yang baik )
Dalam tafsir Al-Baghawi dijelaskan bahwa berdakwah dengan al-mau’idzah al-hasanahadalah mengajak manusia dengan memberikan motivasi dan juga penakutan atas perbuatan buruk yang dilakuakan. Selain itu diartikan pula bahwa maksud dari al-mau’idzah al-hasanah adalah ucapan yang lembut yang tidak mengandung kekerasan.
Dalam kitab zad al-Masir fi ‘ilmi al-Tafsir milik Jamal al-Din ‘Abdu al-Rahman al-Jauzi disebutkan bahwa makna dari al-mau’idzah al-hasanah ada dua yang pertama adalah pelajaran dari Al-Qur’an berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas dan yang kedua adalah adab yang baik yang telah ma’ruf.
Sedangkan dalam tafsir al-Manaar diartikan bahwa al-Mau’idzah adalah bentuk isim dari lafadz wa’adza yang artinya wasiat kepada kebenaran dan kebaikan juga wasiat untuk menjauhkan diri dari kebatilan dan keburukan dengan jalan memberikan motivasi dan penakut-nakutan dimana dengan hal itu akan msampai ke hati yang diberi wasiat yang akan menjadikan orang tersebut mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan.
Dari pengertian di atas maka al-mau’idzah al-hasanah mengandung beberapa hal berikut :
a. Nasihat ataupun petuah
b. Bimbingan dan pengajaran
c. Kisah – kisah
d. Kabar gembira dan peringatan
e. Wasiat ( pesan – pesan positif )
Dari kandungan – kandungan di atas maka al-mau’idzah al-hasanah akan mengandung arti kata – kata yang masuk ke dalam hati dengan penuh kasih saying dank e dalam perasaan dengan penuh kelembutan di mana hal itu lebih dapat memberikan dampak pada orang yang didakwahi.
3. Berdakwah dengan melakukan bantahan dengan cara yang baik.
Dalam pengerian bahasa kata mujadalah diambil dari kata jadala yang berarti memintal, ataupun melilit. Kemudian kata tersebut diikutkan pasda wazan faa’ala menjadi kata jaadala yang berarti berdebat atau berbantahan dengan.
Secara istilah kata mujaadalah memiliki beberapa pengertian, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Menurut Sayyid Muhammad Thanthawi mujadalah berarti upaya untuk mengalahkan pendapat lawan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.
b. Menurut tafsir Al-Nasafi kata tersebut berarti berbantahan dengan jalan sebaik – baiknya antara lain denga perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan perkataan yang kasar atau dengan mempergunakan suatu perkataan yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa dan menerangi akal pikiran.
Begitulah tiga metode dakwah yang telah disebutkan dalam surah An-nahl ayat 125. Setelah hal tersebut Allah menutup dengan firman-Nya :
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
Dalam potongan ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa pemberian hidayah agar seseorang itu menerima dakwah adalah hak Allah Ta’ala, kewajiban kita adalah berdakwa sesuai kemampuan kita. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [القصص: 56]
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.
Semoga kita dapat berdakwa sesuai apa yang telah Allah tunjukkan kepada kita. Amin:
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
"Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, Dan mudahkanlah untukku urusanku, Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku supaya mereka mengerti perkataanku”)