Berikut ini adalah cerpen buatan kelompok Bahasa Indonesia waktu smk dulu, seingetku dulu ini tugas kelompok, satu kelompok ada 6 orang, kelompok ini dinamai VINAAS yang diambil dari awal karakter nama masing-masing 6 orang tersebut hehe. Cerpen ini hasil imajinasi VINAAS. Selamat membaca!
Petikan Senar Tua
Oleh
VINAAS
Dia melihat hiruk pikuk ibu kota ini. Duduk membisu
menatap lekat kaki-kaki berbalut sepatu kulit mahal yang berlalu lalang itu.
Ingatan yang telah terkubur dari dasar pikirannya, terkuak kembali pada masa-masa
kejayaannya dulu yang hampir setiap saat kakinya selalu terbaluti oleh sepatu
kulit mahal. Lelaki senja itu pun menghela napas dalam sambil membuka resleting
tas gitar tuanya. Jari-jari keriputnya pun dengan terampil mulai memetikkan
sebuah nada-nada indah pada senar tuanya itu. Kemudian bibirnya yang sudah menghitam
mulai mengeluarkan kalimat-kalimat berisi irama yang dia hapal luar kepala dengan
suara khasnya yang serak. Dia memejamkan mata mendengar setiap suara hentakkan sepatu,
suara dorongan roda mungil koper-koper, suara sompran seorang wanita yang
memaki, suara manis anak-anak kecil, hingga kebisingan suara kereta yang sudah
menjadi nada alamnya sehari-hari. Sekumpulan remaja yang dermawan melemparkan
beberapa recehan ke dalam tas gitar lusuh tuanya yang dia biarkan terbuka.
Tas
gitar itu adalah tas gitarnya di masa lalu kejayaannya, berekpresi dengan
huruf-huruf vokal dan pokok, mengharumkan nama negeri dengan bekerja professional, dengan bakat dan
keistimewaannya. Dia merasakan kesementaraan kuasa. Tak lama. Mungkin hanya
beberapa detik saja. Bahkan jauh dari kata abadi. Bukan hartalah temannya namun
keistimewaan Yang Kuasa yang akan selalu menemaninya, setidaknya itulah yang dia
tahu dan harapkan. Suara baritone
serak-nya yang khas masih menggema di sepanjang lorong, mendendangkan sebuah
lagu karangan tangan mulusnya dulu yang harum. Lelaki senja membuka matanya
lebar-lebar, sekadar ingin melihat manusia-manusia yang haus akan rindu
berderet sejajar mengantri di depan loket. Setelah beberapa lama bernyanyi, dia
menoleh kearah tas gitar melihat seberapa banyak penghasilannya. Tak terasa senja
sudah menampakkan jati dirinya yang berwarna jingga, dia menghitung uang yang dia
genggam, menatanya dan memasukkannya kedalam kantong celana buluk yang dia
kenakan. “Kuharap cukup untuk hari ini.” Celotehnya sambil membereskan gitar
dan memasukkannya ketempatnya.
Dengan
langkah pelan lelaki senja itu memijakkan kakinya meninggalkan kantor
penghasilan uangnya. Berjalan tanpa henti, maju dan terus maju. Namun
pikirannya enggan untuk mengikutinya, dan malah terus berlari mundur. Saat ini
yang hanya dirasakannya ialah kesepian yang mendalam, kesedihan yang mendalam.
Seakan kebahagiannya sudah larut bercampur dengan kesedihannya yang mendominasi,
tak sampai dia membayangkan hidup sendiri tanpa orang-orang yang dia cintai dan
dia lindungi. Kakinya secara sepihak terhenti di depan sebuah gedung mewah
dengan reklame besar menanyangkan sesosok penyanyi yang lumrah dikenal
masyarakat. Khayalnya terus menjadi-jadi. Berlari-lari mundur tanpa henti.
Dulu, sangat dulu sekali reklame gedung itu pernah bertuliskan namanya,
“Dapatkan segera single terbaru dari
Karim Fajar, Kebahagian Semata”. Gedung itu juga yang banyak membantu dalam
musiknya. Gedung itu tidak berubah, hanya saja sekarang jauh lebih mewah.
Lelaki
senja itu menoleh ke sebuah taman cantik disamping gedung mewah itu, terlihat dua
sosok manusia ciptaan Yang Kuasa dengan gen dan jenis yang berbeda saling duduk
bersampingan di taman. Si laki-laki memangku sebuah gitar sambil menyanyikan
sebuah lagu sambil tersenyum manis kepada si perempuan cantik yang tampak
sangat senang disampingnya. Lelaki senja tersentak mundur saat mendengar makian
yang dilontarkan seseorang yang memakai pakaian kerja lengkap dengan tumpukan
map berwarna-warni ditangannya,
“Hei kau jembel, janganlah berdiam diri di jalan!
Tahukah kau Jakarta sempit? Menyulitkan sekali.” Ujarnya dengan suara keras
lantas pergi begitu saja.
Lelaki senja itu mengucapkan
maaf dalam hati sambil menghela napas panjang, seketika bayangan taman,
laki-laki dengan gitar dan perempun cantik itu lenyap dalam pusaran kenyataan.
Ternyata dia tadi hanya berhalusinasi masa mudanya dulu bersama istrinya,
“Apakah ini? Bahkan aku
mulai mengingat lagi masa lalu,” dia mendengus dengan keras, melepas penat dan
rasa sepi yang memenuhi dada. Dia memutuskan untuk terus berjalan dengan
menyeret pikirannya bersamanya, tiba disebuah gubuk yang jauh dari kata besar
namun layak, dia menggeser pot bunga yang berada disamping pintu lalu membuka
pintunya.
Sampai di dalam lelaki senja duduk untuk melepaskan
lelahnya dan memanjakan diri dengan meminum teh jahe yang sengaja dia stok
didalam lemari dapur. Dia membuka lagi gitarnya yang tua, dulu gitar itu yang
membantunya menemukan cahaya dalam hidupnya, sekarang cahaya itu redup dan
berganti menjadi cahaya yang lebih terang di atas sana sambil menatapnya dengan
amat sedih. Kemudian dia memetik lagi tiap senar-senar tuanya, namun nada-nada
yang dihasilkannya menariknya kembali kepada bayangan hitam putih masa lalunya
yang mempertontonkan dirinya bernyanyi di atas panggung megah dengan semangat
yang menggebu-gebu seperti remaja jaman sekarang, benar, dia adalah seorang
penyanyi professional yang terkenal
pada jamannya. Mempunyai seorang kekasih yang cantik bernama Runia yang dia
nikahi sesudah dia mengadakan sebuah orchestra
di negeri seberang. Hingga akhirnya kisah cinta mereka menghasilkan seorang gadis
yang cantik bernama Seruni. Hidup mereka bahagia, bahkan kesedihan pun tak
benar-benar tega merasuki kebahagian mereka.
Suatu
ketika, umur Karim yang sudah mulai menua, gaya bermusiknya pun sudah berubah,
tak sama lagi saat dia masih muda dulu, peminat musiknya juga pasti akan
meninggalkannya, menghilang entah kemana, jasa bermusiknya hilang begitu saja
seperti angin lalu. Kemudian manajernya pun memutuskan untuk berhenti bekerja
sama dengannya. Meski Karim sendiri pun merasa dia adalah pihak yang dirugikan,
dengan sangat berat hati dia mengikhlaskan semua. Tak lama setelah kejadian
itu, putri semata wayangnya dipersunting oleh seorang pemuda pengusaha yang
tampan. Seruni pun tinggal bersama suaminya, bertempat tinggal jauh darinya dan
istrinya. Hari demi hari dia lewati bersama istrinya, namun lama setelahnya,
kondisi istrinya menurun, dibawanya kerumah sakit umum, betapa mengejutkannya
ternyata istinya mengidap kanker hati. Dia dengan ketabahan hati merawat
istrinya siang dan malam tanpa lelah sampai ajal dengan terpaksa menjemput
istrinya, dia hanya bisa pasrah, tidak bisa dia menyalahkan Yang Kuasa atas
kehilangan sosok wanita yang setia menemaninya dalam keadaan apapun, dalam
keadaan senang maupun keadaan sedihnya.
Uang
yang dia tabung selama ini habis terpakai untuk membiayai masa rawat dan
operasi istrinya yang gagal. Rumahnya yang besar sudah dia jual untuk menafkahi
hidupnya sendiri. Jadilah dia disini, tinggal di sebuah gubuk kecil dengan
peralatan rumah seadanya. Uang sisa tabungannya pun semakin lama semakin habis
dia gunakan sehari-hari. Satu-satunya harta yang dia miliki hanyalah sebuah
gitar. Gitar yang selama ini setia menemani sepanjang hidupnya. Gitar pemberian
ayahnya sewaktu dia berjanji kepada ayahnya bahwa suatu hari dia akan menjadi
penyanyi terkenal, dan seperti menempati janji kepada ayahnya dia menjadi
penyanyi terkenal. Gitar yang selama ini masih dalam genggamannya disaat segala
hartanya secara misterius lari darinya. Gitar itu tetap padanya hingga kini.
Gitar itu masih sama, bararoma kayu jati yang manis, yang berbeda sekarang
hanyalah usianya yang menjadikan warna coklat gelapnya menjadi pudar, wangi
kayu jatinya yang manis juga sudah hilang, senarnya yang bewarna putih susu
sudah berubah menjadi jingga kehijauan. Namun, diatas semua perubahan fisiknya,
gitar itu tetap memiliki nada indah yang sama waktu pertama kali Karim
memetikkan jarinya di senar gitar itu. Hingga dia memutuskan untuk mengemis
belas kasihan kepada setiap orang yang melewatinya dengan hanya mendengar petikan
gitar dan suaranya yang merdu.
***
Sinar matahari sore saling berebut masuk kedalam ruang baca lewat jendela yang baru saja dibuka
oleh Seruni dengan perlahan. Seruni menghempaskan diri duduk di sofa lipat yang
berada persis di samping jendela ruang bacanya
itu. Sesuatu mengganjal hatinya, memaksanya untuk bangkit dari duduknya untuk
mengambil sebuah potret tua yang berada di buku tebal karya William Shakespeare
tepat dibagian tengah. Dia mengamati potret tua itu lama sekali, jari lentiknya
terangkat menyentuh permukaan potret yang menampilkan wajahnya yang masih lugu
dengan kedua orang tuanya. Seruni merasakan kerinduan yang mendalam kepada
kedua orang tuanya.
“Jika engkau merindukan
mereka, jemputlah mereka kesini, Seruni.” Adam berucap pelan sambil membawakan
dua teh hangat untuknya dan Seruni.
“Aku tidak yakin kedua orang
tuaku akan menerimaku,” Seruni menyeruput sedikit tehnya dengan hati-hati.
“Kenapa?”
“Bukankah aku sudah terlalu
lama tidak mengunjungi mereka? Bahkan tidak pernah mengunjungi mereka, kan?
Terakhir kali aku bertemu dengan mereka saat hari di mana kita akan pergi ke sini,
ke Kalimantan.”
“Tidak ada kata terlambat.
Jika kau berniat untuk mengunjungi mereka pasti mereka akan dengan senang hati
menerimamu. Lebih baik sekarang atau tidak sama sekali.”
***
Seruni pergi dari Kalimantan ke Jakarta untuk mengunjungi
orang tuanya. Suaminya, Adam tidak bisa menemaninya karena pekerjaannya yang
terlampau sibuk. Jadilah dia disini, di bawah teriknya matahari ibu kota, dia
masih mengingat alamat rumahnya dulu, setelah sampai di depan rumah besar itu,
Seruni tertegun karena semua sudah hilang entah ke mana, rumah besar itu yang
dulu adalah rumah kebahagiannya bersama orang tuannya sekarang sudah ditinggali
oleh orang lain. Pikiran-pikiran negatif tiba-tiba saja merasuki otaknya,
pikirannya melayang kepada orang tuanya. Di
mana ayah dan ibu? Dia berbisik khawatir dalam hati. Seruni mencari-cari
keberadaan orang tuanya, bertanya-tanya kepada orang yang berlalu lalang
tentang keberadaan orang tuanya yang dijawab dengan gelengan di setiap orang
yang dia tanyai. Di saat dia mulai ingin menangis karena putus asa, hatinya
tersentak begitu telinganya menangkap sebuah suara yang tak asing baginya.
Suara yang dikenalnya walaupun dia sedikit ragu itu adalah suara ayahnya.
Seruni berjalan menapaki tangga menurun kearah stasiun
kota yang ramai dengan hati yang berdebar. Matanya menangkap seorang lelaki
senja yang memakai jaket lusuh dengan sebuah gitar menggantung di lehernya,
sebuah tas gitar lusuhnya terbuka menampilkan beberapa recehan di dalamnya. Hati
Seruni seperti ditusuk ratusan jarum melihat lelaki senja itu. Lelaki senja itu
adalah ayahnya. Ayahnya yang dulu selalu dalam balutan jas rapih, namun
sekarang ayahnya yang tua dalam balutan jaket lusuh tak layak pakai. Mata hatinya
sakit melihat pemandangan itu, membuatnya ingin menjauh dari sana dan berkata
kepada Yang Kuasa bahwa jika ini mimpi, bangunkanlah dia sekarang juga. Tetapi
bukan itulah yang dia lalukan, kakinya membatu, mulutnya membisu, dia berdiam
diri sejenak, hingga lelaki senja yang masih menampilkan senyum tipisnya kepada
setiap orang yang menjatuhkan uang recehan mereka ke dalam tas gitarnya itu
menolehkan kepala kepadanya.
***
Karim merasa luar biasa lega karena telah bertemu dengan
anaknya. Dia membawa Seruni ke gubuknya, lalu menceritakan semua kejadian yang menimpanya selama Seruni tidak ada, dimulai
dari istrinya Runia yang meninggal karena kanker, uangnya habis, rumahnya
dijual, hingga profesinya sekarang yang menjadi musisi jalanan. Seruni menangis,
disaat itu juga meminta maaf kepada ayahnya kerena lama sekali tidak
mengunjunginya. Seruni sangat menyesal telah kehilangan sosok ibunya. Seruni
tidak menyangka keluarganya akan seperti ini jadinya.
Seruni membujuk Karim untuk tinggal bersamanya dan
suaminya di Kalimantan. Dengan sangat berat hati, Karim menyetujuinya, karena
tidak ada lagi yang dia harapkan di ibu kota ini. Semua miliknya melangkah
pergi meninggalkannya, kini yang tersisa hanyalah gitar dengan senar tuanya
juga anak semata wayangnya yang sangat dia syukuri karena masih
mengingatnya. Kini musisi jalanan itu
sudah berada di Kalimantan, mungkin tak akan kembali lagi ke ibu kota yang
selama ini menjadi saksi bisu roda kehidupannya.
Dalam kehiduan ini, janganlah mudah menyerah akan apapun.
Masih banyak jalan keluar akan semua permasalahan, Yang Kuasa tidak akan
memberi makhluk ciptaannya sebuah cobaan yang tidak bisa ditanggung makhluk itu
sendiri. Selalu ada jalan penyelesaian masalah. Kenapa tidak Karim melamar
bekerja disebuah kafe, walaupun sudah tua asalkan dia masih memelihara suara
merdunya itu, pekerjan menyanyi di kafe tidak akan menjadi masalah. Lagi pula
itu akan berpenghasilan jauh lebih tinggi dibandingkan menyanyi di jalanan.
Roda itu berputar. Persis seperti hidup. Tak akan
selamanya dia berada di atas, namun juga pasti akan merasakan di bawah.
Tergantung dengan bagaimana dia menyesuaikan dirinya akan itu. Jadi semasa
masih diberi kehidupan, janganlah selalu memandang keatas, tak akan ada
habisnya melihat apapun di atas sana. Tetapi cobalah untuk melihat ke bawah,
itu akan menjadi sebuah pelajaran untuk selalu mengingat kepadaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar