Rabu, 29 Agustus 2018

Tugas Sekolah: CERPEN

Berikut ini adalah cerpen buatan kelompok Bahasa Indonesia waktu smk dulu, seingetku dulu ini tugas kelompok, satu kelompok ada 6 orang, kelompok ini dinamai VINAAS yang diambil dari awal karakter nama masing-masing 6 orang tersebut hehe. Cerpen ini hasil imajinasi VINAAS. Selamat membaca!






Petikan Senar Tua

Oleh VINAAS





            Dia melihat hiruk pikuk ibu kota ini. Duduk membisu menatap lekat kaki-kaki berbalut sepatu kulit mahal yang berlalu lalang itu. Ingatan yang telah terkubur dari dasar pikirannya, terkuak kembali pada masa-masa kejayaannya dulu yang hampir setiap saat kakinya selalu terbaluti oleh sepatu kulit mahal. Lelaki senja itu pun menghela napas dalam sambil membuka resleting tas gitar tuanya. Jari-jari keriputnya pun dengan terampil mulai memetikkan sebuah nada-nada indah pada senar tuanya itu. Kemudian bibirnya yang sudah menghitam mulai mengeluarkan kalimat-kalimat berisi irama yang dia hapal luar kepala dengan suara khasnya yang serak. Dia memejamkan mata mendengar setiap suara hentakkan sepatu, suara dorongan roda mungil koper-koper, suara sompran seorang wanita yang memaki, suara manis anak-anak kecil, hingga kebisingan suara kereta yang sudah menjadi nada alamnya sehari-hari. Sekumpulan remaja yang dermawan melemparkan beberapa recehan ke dalam tas gitar lusuh tuanya yang dia biarkan terbuka.


Tas gitar itu adalah tas gitarnya di masa lalu kejayaannya, berekpresi dengan huruf-huruf vokal dan pokok, mengharumkan nama negeri dengan bekerja professional, dengan bakat dan keistimewaannya. Dia merasakan kesementaraan kuasa. Tak lama. Mungkin hanya beberapa detik saja. Bahkan jauh dari kata abadi. Bukan hartalah temannya namun keistimewaan Yang Kuasa yang akan selalu menemaninya, setidaknya itulah yang dia tahu dan harapkan. Suara baritone serak-nya yang khas masih menggema di sepanjang lorong, mendendangkan sebuah lagu karangan tangan mulusnya dulu yang harum. Lelaki senja membuka matanya lebar-lebar, sekadar ingin melihat manusia-manusia yang haus akan rindu berderet sejajar mengantri di depan loket. Setelah beberapa lama bernyanyi, dia menoleh kearah tas gitar melihat seberapa banyak penghasilannya. Tak terasa senja sudah menampakkan jati dirinya yang berwarna jingga, dia menghitung uang yang dia genggam, menatanya dan memasukkannya kedalam kantong celana buluk yang dia kenakan. “Kuharap cukup untuk hari ini.” Celotehnya sambil membereskan gitar dan memasukkannya ketempatnya.


Dengan langkah pelan lelaki senja itu memijakkan kakinya meninggalkan kantor penghasilan uangnya. Berjalan tanpa henti, maju dan terus maju. Namun pikirannya enggan untuk mengikutinya, dan malah terus berlari mundur. Saat ini yang hanya dirasakannya ialah kesepian yang mendalam, kesedihan yang mendalam. Seakan kebahagiannya sudah larut bercampur dengan kesedihannya yang mendominasi, tak sampai dia membayangkan hidup sendiri tanpa orang-orang yang dia cintai dan dia lindungi. Kakinya secara sepihak terhenti di depan sebuah gedung mewah dengan reklame besar menanyangkan sesosok penyanyi yang lumrah dikenal masyarakat. Khayalnya terus menjadi-jadi. Berlari-lari mundur tanpa henti. Dulu, sangat dulu sekali reklame gedung itu pernah bertuliskan namanya, “Dapatkan segera single terbaru dari Karim Fajar, Kebahagian Semata”. Gedung itu juga yang banyak membantu dalam musiknya. Gedung itu tidak berubah, hanya saja sekarang jauh lebih mewah.


Lelaki senja itu menoleh ke sebuah taman cantik disamping gedung mewah itu, terlihat dua sosok manusia ciptaan Yang Kuasa dengan gen dan jenis yang berbeda saling duduk bersampingan di taman. Si laki-laki memangku sebuah gitar sambil menyanyikan sebuah lagu sambil tersenyum manis kepada si perempuan cantik yang tampak sangat senang disampingnya. Lelaki senja tersentak mundur saat mendengar makian yang dilontarkan seseorang yang memakai pakaian kerja lengkap dengan tumpukan map berwarna-warni ditangannya,


“Hei kau jembel, janganlah berdiam diri di jalan! Tahukah kau Jakarta sempit? Menyulitkan sekali.” Ujarnya dengan suara keras lantas pergi begitu saja.


Lelaki senja itu mengucapkan maaf dalam hati sambil menghela napas panjang, seketika bayangan taman, laki-laki dengan gitar dan perempun cantik itu lenyap dalam pusaran kenyataan. Ternyata dia tadi hanya berhalusinasi masa mudanya dulu bersama istrinya,


“Apakah ini? Bahkan aku mulai mengingat lagi masa lalu,” dia mendengus dengan keras, melepas penat dan rasa sepi yang memenuhi dada. Dia memutuskan untuk terus berjalan dengan menyeret pikirannya bersamanya, tiba disebuah gubuk yang jauh dari kata besar namun layak, dia menggeser pot bunga yang berada disamping pintu lalu membuka pintunya.


            Sampai di dalam lelaki senja duduk untuk melepaskan lelahnya dan memanjakan diri dengan meminum teh jahe yang sengaja dia stok didalam lemari dapur. Dia membuka lagi gitarnya yang tua, dulu gitar itu yang membantunya menemukan cahaya dalam hidupnya, sekarang cahaya itu redup dan berganti menjadi cahaya yang lebih terang di atas sana sambil menatapnya dengan amat sedih. Kemudian dia memetik lagi tiap senar-senar tuanya, namun nada-nada yang dihasilkannya menariknya kembali kepada bayangan hitam putih masa lalunya yang mempertontonkan dirinya bernyanyi di atas panggung megah dengan semangat yang menggebu-gebu seperti remaja jaman sekarang, benar, dia adalah seorang penyanyi professional yang terkenal pada jamannya. Mempunyai seorang kekasih yang cantik bernama Runia yang dia nikahi sesudah dia mengadakan sebuah orchestra di negeri seberang. Hingga akhirnya kisah cinta mereka menghasilkan seorang gadis yang cantik bernama Seruni. Hidup mereka bahagia, bahkan kesedihan pun tak benar-benar tega merasuki kebahagian mereka.


Suatu ketika, umur Karim yang sudah mulai menua, gaya bermusiknya pun sudah berubah, tak sama lagi saat dia masih muda dulu, peminat musiknya juga pasti akan meninggalkannya, menghilang entah kemana, jasa bermusiknya hilang begitu saja seperti angin lalu. Kemudian manajernya pun memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengannya. Meski Karim sendiri pun merasa dia adalah pihak yang dirugikan, dengan sangat berat hati dia mengikhlaskan semua. Tak lama setelah kejadian itu, putri semata wayangnya dipersunting oleh seorang pemuda pengusaha yang tampan. Seruni pun tinggal bersama suaminya, bertempat tinggal jauh darinya dan istrinya. Hari demi hari dia lewati bersama istrinya, namun lama setelahnya, kondisi istrinya menurun, dibawanya kerumah sakit umum, betapa mengejutkannya ternyata istinya mengidap kanker hati. Dia dengan ketabahan hati merawat istrinya siang dan malam tanpa lelah sampai ajal dengan terpaksa menjemput istrinya, dia hanya bisa pasrah, tidak bisa dia menyalahkan Yang Kuasa atas kehilangan sosok wanita yang setia menemaninya dalam keadaan apapun, dalam keadaan senang maupun keadaan sedihnya.


Uang yang dia tabung selama ini habis terpakai untuk membiayai masa rawat dan operasi istrinya yang gagal. Rumahnya yang besar sudah dia jual untuk menafkahi hidupnya sendiri. Jadilah dia disini, tinggal di sebuah gubuk kecil dengan peralatan rumah seadanya. Uang sisa tabungannya pun semakin lama semakin habis dia gunakan sehari-hari. Satu-satunya harta yang dia miliki hanyalah sebuah gitar. Gitar yang selama ini setia menemani sepanjang hidupnya. Gitar pemberian ayahnya sewaktu dia berjanji kepada ayahnya bahwa suatu hari dia akan menjadi penyanyi terkenal, dan seperti menempati janji kepada ayahnya dia menjadi penyanyi terkenal. Gitar yang selama ini masih dalam genggamannya disaat segala hartanya secara misterius lari darinya. Gitar itu tetap padanya hingga kini. Gitar itu masih sama, bararoma kayu jati yang manis, yang berbeda sekarang hanyalah usianya yang menjadikan warna coklat gelapnya menjadi pudar, wangi kayu jatinya yang manis juga sudah hilang, senarnya yang bewarna putih susu sudah berubah menjadi jingga kehijauan. Namun, diatas semua perubahan fisiknya, gitar itu tetap memiliki nada indah yang sama waktu pertama kali Karim memetikkan jarinya di senar gitar itu. Hingga dia memutuskan untuk mengemis belas kasihan kepada setiap orang yang melewatinya dengan hanya mendengar petikan gitar dan suaranya yang merdu.


***


            Sinar matahari sore saling berebut masuk kedalam ruang baca lewat jendela yang baru saja dibuka oleh Seruni dengan perlahan. Seruni menghempaskan diri duduk di sofa lipat yang berada persis di samping jendela ruang bacanya itu. Sesuatu mengganjal hatinya, memaksanya untuk bangkit dari duduknya untuk mengambil sebuah potret tua yang berada di buku tebal karya William Shakespeare tepat dibagian tengah. Dia mengamati potret tua itu lama sekali, jari lentiknya terangkat menyentuh permukaan potret yang menampilkan wajahnya yang masih lugu dengan kedua orang tuanya. Seruni merasakan kerinduan yang mendalam kepada kedua orang tuanya.


“Jika engkau merindukan mereka, jemputlah mereka kesini, Seruni.” Adam berucap pelan sambil membawakan dua teh hangat untuknya dan Seruni.


“Aku tidak yakin kedua orang tuaku akan menerimaku,” Seruni menyeruput sedikit tehnya dengan hati-hati.


“Kenapa?”


“Bukankah aku sudah terlalu lama tidak mengunjungi mereka? Bahkan tidak pernah mengunjungi mereka, kan? Terakhir kali aku bertemu dengan mereka saat hari di mana kita akan pergi ke sini, ke Kalimantan.”


“Tidak ada kata terlambat. Jika kau berniat untuk mengunjungi mereka pasti mereka akan dengan senang hati menerimamu. Lebih baik sekarang atau tidak sama sekali.”


***


           Seruni pergi dari Kalimantan ke Jakarta untuk mengunjungi orang tuanya. Suaminya, Adam tidak bisa menemaninya karena pekerjaannya yang terlampau sibuk. Jadilah dia disini, di bawah teriknya matahari ibu kota, dia masih mengingat alamat rumahnya dulu, setelah sampai di depan rumah besar itu, Seruni tertegun karena semua sudah hilang entah ke mana, rumah besar itu yang dulu adalah rumah kebahagiannya bersama orang tuannya sekarang sudah ditinggali oleh orang lain. Pikiran-pikiran negatif tiba-tiba saja merasuki otaknya, pikirannya melayang kepada orang tuanya. Di mana ayah dan ibu? Dia berbisik khawatir dalam hati. Seruni mencari-cari keberadaan orang tuanya, bertanya-tanya kepada orang yang berlalu lalang tentang keberadaan orang tuanya yang dijawab dengan gelengan di setiap orang yang dia tanyai. Di saat dia mulai ingin menangis karena putus asa, hatinya tersentak begitu telinganya menangkap sebuah suara yang tak asing baginya. Suara yang dikenalnya walaupun dia sedikit ragu itu adalah suara ayahnya.


            Seruni berjalan menapaki tangga menurun kearah stasiun kota yang ramai dengan hati yang berdebar. Matanya menangkap seorang lelaki senja yang memakai jaket lusuh dengan sebuah gitar menggantung di lehernya, sebuah tas gitar lusuhnya terbuka menampilkan beberapa recehan di dalamnya. Hati Seruni seperti ditusuk ratusan jarum melihat lelaki senja itu. Lelaki senja itu adalah ayahnya. Ayahnya yang dulu selalu dalam balutan jas rapih, namun sekarang ayahnya yang tua dalam balutan jaket lusuh tak layak pakai. Mata hatinya sakit melihat pemandangan itu, membuatnya ingin menjauh dari sana dan berkata kepada Yang Kuasa bahwa jika ini mimpi, bangunkanlah dia sekarang juga. Tetapi bukan itulah yang dia lalukan, kakinya membatu, mulutnya membisu, dia berdiam diri sejenak, hingga lelaki senja yang masih menampilkan senyum tipisnya kepada setiap orang yang menjatuhkan uang recehan mereka ke dalam tas gitarnya itu menolehkan kepala kepadanya.


***


            Karim merasa luar biasa lega karena telah bertemu dengan anaknya. Dia membawa Seruni ke gubuknya, lalu menceritakan semua kejadian yang  menimpanya selama Seruni tidak ada, dimulai dari istrinya Runia yang meninggal karena kanker, uangnya habis, rumahnya dijual, hingga profesinya sekarang yang menjadi musisi jalanan. Seruni menangis, disaat itu juga meminta maaf kepada ayahnya kerena lama sekali tidak mengunjunginya. Seruni sangat menyesal telah kehilangan sosok ibunya. Seruni tidak menyangka keluarganya akan seperti ini jadinya.


       Seruni membujuk Karim untuk tinggal bersamanya dan suaminya di Kalimantan. Dengan sangat berat hati, Karim menyetujuinya, karena tidak ada lagi yang dia harapkan di ibu kota ini. Semua miliknya melangkah pergi meninggalkannya, kini yang tersisa hanyalah gitar dengan senar tuanya juga anak semata wayangnya yang sangat dia syukuri karena masih mengingatnya.  Kini musisi jalanan itu sudah berada di Kalimantan, mungkin tak akan kembali lagi ke ibu kota yang selama ini menjadi saksi bisu roda kehidupannya.


            Dalam kehiduan ini, janganlah mudah menyerah akan apapun. Masih banyak jalan keluar akan semua permasalahan, Yang Kuasa tidak akan memberi makhluk ciptaannya sebuah cobaan yang tidak bisa ditanggung makhluk itu sendiri. Selalu ada jalan penyelesaian masalah. Kenapa tidak Karim melamar bekerja disebuah kafe, walaupun sudah tua asalkan dia masih memelihara suara merdunya itu, pekerjan menyanyi di kafe tidak akan menjadi masalah. Lagi pula itu akan berpenghasilan jauh lebih tinggi dibandingkan menyanyi di jalanan.


            Roda itu berputar. Persis seperti hidup. Tak akan selamanya dia berada di atas, namun juga pasti akan merasakan di bawah. Tergantung dengan bagaimana dia menyesuaikan dirinya akan itu. Jadi semasa masih diberi kehidupan, janganlah selalu memandang keatas, tak akan ada habisnya melihat apapun di atas sana. Tetapi cobalah untuk melihat ke bawah, itu akan menjadi sebuah pelajaran untuk selalu mengingat kepadaNya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar